Dalam
menjalani kehidupan yang namanya susah senang menjadi bagian yang tidak bisa
jauh dari sendi kehidupan. Bisa dikatakan silih berganti, kadang hari ini
senang besoknya susah lagi.. itulah hidup tak ubahnya seperti roda berputar,
kadang di atas kadang pula dibawah. Memang sudah menjadi kodrat manusia hanya
akal dan prasaan yang bisa mengendalikannya.
Barangkali
dalam coretan kali ini saya tidak ingin mengulas banyak tentang prubahan sikap
maupun prilaku manusia yang menghasilkan rasa berbeda-beda dalam setiap waktu.
Ini sebagai pengantar tulisan yang saya kira kurang mendalam analisisnya.
Tahu kah anda,
dari sekian potensi manusia ada semacam harapan baik yang ditunjukkan secara
nyata maupun tersbunyi yakni kita sama-sama merindukan kedamian atau bisa dikatakan
ketentraman. Pada sebuah contoh dalam kehidupan bermasyarakat damai itu menjadi
kebutuhan yang paling diidam-idamkan oleh semua manusia, namun perbedaan cara
dan sikap seringkali dimaknai berbeda-beda oleh masing-masing insan, tapi
tujuannya sama.
Lebih
jelasnya, di kampung saya memiliki dua masjid, yang kedua-keduanya masih tengah
proses pembangunan. Kata damai menjadi
dasar untuk memuluskan niat menuju akhirat, dengan membangun masjid akan lebih
didekatkan pada kedamaian. Tapi jauh saya berpikir kedepan bahwasanya kedamian
yang diharapkan orang lebih banyak disetir oleh sekelompok orang yang memiliki
kepentingan atau lebih jelasnya menginginkan kekuasaan. Dengan membangun masjid
berarti telah menunjukkan seorang atau sekelompok orang memiliki kekuasaan.
Saya tidak mengatakan membangun masjid itu haram, tapi yang saya soroti
keberadaan dua masjid mampukah menciptakan masyarakat yang damai?
Nah pertanyaan
diatas saya kira cukup menggelitik pikiran saya, saya katakan jauh sebelum
memiliki dua masjid kehidupan masyarakat belum terkotak-kotak seperti sekarang,
kehidupan masyarakat berjalan sesuai dengan harapan, meski waktu itu otoritas
masjid banyak mempengaruhi kebijakan pemerintah desa, namun pada satu
corong.
Seiring dengan
berjalan waktu di dalam internal pengurus masjid terjadi perang dingin antar
pengurus yang menyebabkan perpecahan. Pengurus lama tidak mau melepas jabatan
kepengurusnya sementara pengurus yang baru naik lebih agresif menyingkirkan
pengurus lama. Konflik pun terjadi meski tidak secara terang-terangan, tapi masyarakat
tetap menjadi penilai kedua kubu. Tidak ada yang benar dan salah, kedua
kelompok sama-sama ingin menduduki kekuasan.
Pada akhirnya
kubu pengurus lama keluar dengan membangun masjid baru sebagai tahta baru yang
siap diduduki. Melihat konflik tersebut masyarakat pun ikut menentukan
pilihannya memilih salah satu diantara keduanya yang dianggap benar. Masyarakat
sudah mulai terkotak-kotak dan mengklaim pilihannya yang benar. Waktu itu,
adanya konflik tersebut nyaris terjadi caos pendukung kedua belah pihak untung
saja masih menggunakan akal sehat mereka untuk berpikir. Kalau tidak bagaimana
jadinya kampung itu perang antar keluarga.
Dari kedua
belah pihak kendalikan oleh tokoh yang menurut saya pengetahuan agamanya bisa
dikatakan mendekati alim ulama.
Seiring
berputarnya jarum jam yang menunjukkan perubahan waktu dan masa hingga sekarang
kehidupan masyarakat kampung itu berjalan dengan rasa kebimbangan. Niat
membangun masjid sebagai rumah ibadah berubah alih menjadi rumah kekuasaan
kedua golongan. Meski secara kasat mata fungsi dan pran masjid masih tetap
dipertahankan, tapi ego kelompok orang yang ingin menunjukkan keakuannya
membelokkan keikhlasanya membangun masjid.
Bukan hanya
terjadi dikampung saya saja, melainkan dibeberapa kampung juga terjadi seperti
demikian dengan latar belakang kasus yang berbeda.